Oleh:
Bambang Sukirno
Sang waktu terus berjalan. Tak terasa kita masuki tahun baru
1433 hijriyah. Itu artinya, hijrah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Beserta para sahabatnya ke madinah telah berumur 1433 tahun. Sebuah peristiwa
bersejarah yang patut dikenang.
Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan untuk sebuah pengorbanan sejati. Yang mengapresiasikan perlawanan akan kebatilan, sekaligus, sikap konsisten mengedepankan kepentingan misi dari kepentingan apapun. Agar ia tetap lestari dan terjaga dari kepunahan. Meski karenanya harus berdarah-darah. Dan karenanya juga, mereka harus meninggalkan negeri, harta, sanak, dan handai-taulan tercinta.
Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan untuk sebuah pengorbanan sejati. Yang mengapresiasikan perlawanan akan kebatilan, sekaligus, sikap konsisten mengedepankan kepentingan misi dari kepentingan apapun. Agar ia tetap lestari dan terjaga dari kepunahan. Meski karenanya harus berdarah-darah. Dan karenanya juga, mereka harus meninggalkan negeri, harta, sanak, dan handai-taulan tercinta.
Dalam Ath-Thobaqot Al-Laits bin Sa’ad mengutip sebuah riwayat
dari ibunda Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Bersuka-cita saat jumlah pengikutnya mencapai tujuh puluh orang, karena
itu artinya allah telah membuatkan “tameng pertahanan”. Bukan sembarangan,
mereka terdiri dari kaum profesional di bidang peperangan, persenjataan, dan
pembelaan.
Toh, permusuhan dan penyiksaan kaum musyrik bertambah gencar
dan berat. Bahkan, tingkat siksaan dan celaan yang dirasakan shahabat belum
pernah dialami sebelumnya. Mereka pun mengadu kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Dan meminta izin untuk berhijrah. Pengaduan dan permintaan
itu dijawab oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya aku
pun telah diberitahu bahwa tempat kalian adalah Yatsrib. Barangsiapa yang ingin
keluar—hijrah—maka hendaklah ia keluar ke Yatsrib.”
Para shahabat kemudian hijrah secara bergelombang, dan tentu
saja dengan sembunyi-sembunyi, kecuali Umar bin Khoththob Radhiyallahu ‘Anhu..
Dengan tegas Umar bahkan bersuara lantang, “Barangsiapa ingin ibunya kehilangan
anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu,
hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini.” Sebuah tantangan yang
antiklimaks, karena tak satu pun orang kafir Quraisy yang berani menampakkan
batang hidungnya.
Tibalah Rasulullah di Yatsrib, setelah sebelumnya para
sahabatnya lebih dulu sampai. Beliau disambut dengan penuh suka cita oleh
sahabat Anshar. Yatsrib dikemudian hari diganti namanya menjadi Al-Madinah
Al-Munawwarah. Hijrah itu sekaligus menjadi tonggak awal dimulainya kalender
Islam.
Makna Hijrah
Secara harfiah hijrah artinya, berpindah. Secara istilah ia
mengandung dua makna; hijrah makani (tempat) dan hijrah ma’nawi (nilai). Hijrah
makani artinya hijrah secara fisik, berpindah dari suatu tempat yang kurang
baik menuju yang lebih baik, dari negeri kafir menuju negeri islam. Sedangkan
hijrah ma’nawi artinya, berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang
lebih baik, dari kebathilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keislaman.
Ringkasnya, hijrah kepada tuntunan Allah dan Rasul-nya. Makna terakhir, oleh
Ibnu Qoyyim bahkan dinyatakan sebagai Al-Hijrah Al-Haqiqiyyah (hijrah sejati).
Alasannya, hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah ma'nawi itu sendiri.
Dua ma’na hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan para sahabatnya ke Madinah.
Secara makani (fisik), jelas mereka berjalan dari makkah ke madinah, menempuh
padang pasir sejauh kurang lebih 450 km. Secara ma’nawi juga jelas, mereka
hijrah demi terjaganya misi Islam.
Al-Qahthani menyatakan bahwa hijrah sebagai urusan yang
besar. Hijrah berhubungan erat dengan Al-Wala’ Wal-Bara’. Bal hiya min ahammi
takaalifahaa, bahkan ia termasuk manifestasi (muwalah) yang paling penting.
Penting, karena menyangkut ketepatan sikap seorang muslim dalam memberikan
perwalian, kesetiaan, dan pembelaan. Juga, menyangkut ketepatan seorang muslim
dalam menampakkan penolakan dan permusuhan kepada yang patut dimusuhi.
Dalam sejarah, para rasul juga dekat dengan tradisi hijrah,
dan semua atas semangat penegasan batas sebuah loyalitas, kesetiaan, keimanan,
yang berujung pada, “menuju yang lebih baik atas ridha Allah”.
Sebut misalnya Nabi Ibrahim Khalilullah, beliau telah
melakukan hijrah beberapa kali, dari babilon ke palestina, dari Palestina ke
Mesir, dari Mesir ke Palestina lagi, semua demi risalah suci. Termasuk hijrah
beliau dari Palestina menuju Makkah yang dalam perkembangannya menjadi syariat
haji.
Adalah Ibrahim ‘Alaihissalam. Yang baru dikaruniai Ismail,
anak yang selama ini dinanti, harus meninggalkan palestina bersama istrinya,
Hajar, menuju tanah gersang tak bertuan. Di tempat itulah Ibrahim meninggalkan
anak dan istrinya. Dengan hanya dibekali sekantong makanan, dan seteko air.
Ibnu Katsir menceritakan dalam tafsirnya, saat nabi Ibrahim hendak berlalu,
sang istri menarik (menahan) tali kekang tunggangannya dan bertanya, “Apakah
kanda akan meninggalkanku bersama anakmu ditempat yang tiada tanaman lagi tak
bertuan ?” Ibrahim terdiam. Hajar mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan
tetap saja Ibrahim diam. Sampai akhirnya Hajar mengganti pertanyaan, “Apakah
Allah yang memerintahkanmu melakukan hal ini.” “Benar”, jawab Ibrahim.
Hajar menimpali, “Jika demikian, Allah tidak akan mempersulit kami”.
Sungguh sebuah dialog yang menusuk hati, merefleksikan
keimanan yang amat dalam, sebuah ketundukan sekaligus pengorbanan yang
menakjubkan. Terpancar sikap tawakal yang begitu tinggi, bahwa hanya Allah Yang
Maha Menghidupkan, Maha Memberi Rizqi, Maha Mematikan. Sempurnalah implementasi
hijrah pada diri Ibrahim ‘Alaihissalam. Dan keluarganya baik secara makani
maupun ma’nawi.
Ibrah Dari Hijrah
Pelajaran yang nyata dari peristiwa hijrah adalah sebuah
pengorbanan. Setelah para shahabat keluar dari ujian berupa siksaan dan cercaan
dari kafir Quraisy di makkah, tidak otomatis menjadikan mereka bebas dari ujian
berikutnya. Yang paling gamblang adalah cobaan meninggalkan kemapanan.
Tengoklah, bagaimana sahabat meninggalkan keluarga tercinta, rumah, pekerjaan,
tanah air, dan sanak kadang.
Secara lahiriyah, umumnya naluri manusia akan menyatakan
ujian itu sungguh berat. Meninggalkan nilai material yang barangkali selama ini
mereka rintis dan perjuangkan. Berpindah ke suatu tempat asing yang penuh
spekulasi. Toh, kecintaan para shahabat akan Islam mengalahkan kecintaan pada
semua itu. Kesucian akidah diatas segalanya. Hal ini sekaligus menegaskan,
betapa maslahat dien menempati pertimbangan tertinggi dari maslahat-maslahat
yang lain.
Pelajaran lain, hijrah menegaskan adanya perseteruan abadi
antara kebathilan versus kebenaran. Ibarat minyak dan air, ia tidak akan bisa
bertemu, karenanya, adalah sebuah utopia upaya-upaya “mengawinkan” antara nilai
islam dengan civic culture (budaya masyarakat) yang bertentangan dengan Islam,
terlebih jika jika dilandasi nafsu mendahulukan budaya ketimbang nilai islam
atas nama pluralisme dan humanisme.
Pelajaran berikutnya adalah, perseteruan kebenaran
versus kebathilan mengharuskan manusia memilih salah satu diantara keduanya,
tidak ada sikap “non-blok”. Allah Ta’ala berfirman : “Kebenaran itu datang dari
rabb-mu, maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu-ragu”.
Untuk menangkap spirit hijrah lebih jauh, rumusan sederhana
Ibnu Qoyyim cukup menarik, katanya, dalam kata hijrah terkandung arti berpindah
“dari” dan berpindah “menuju”. Maksudnya, berpindah dari yang semula tidak
sesuai dengan tuntunan allah dan Rasul-nya menuju kepada yang sesuai dengan
tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Jika rumusan global tersebut betul-betul dihayati setiap
muslim, untuk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam sendi-sendi
kehidupan, barangkali nasib ummat islam secara umum akan lebih baik dari
sekarang. Seorang koruptor akan berhenti dari korupsinya, para preman akan
menghentikan aksi bromocorahnya, tidak ada lagi muslim penimbun, orang miskin
akan bersuka cita karena kucuran infaq para dermawan. Para da’i berhenti
bersengketa antar mereka dalam urusan yang kurang prinsip, dan seterusnya.
Lantas, kenapa kenyataannya tidak demikian ?. Barangkali karena kita kurang
menghayati dan mengamalkan arti hijrah sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam bish
showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar