Oleh: Fahrur Mu’is, S.Pd.I (ch) MA*
Bila kita amati, kondisi umat Islam sekarang ini
mengalami multi krisis, baik dalam sisi politik, sosial, ekonomi, pendidikan,
hukum, maupun pemerintahan. Akibat jauh dari ajaran agama, sedikit demi sedikit
penyakit wahn (cinta dunia dan benci mati) menyerang mereka.
Sehingga penyimpangan terhadap ajaran Islam, merambah semua kalangan umat baik pemerintah, ulama, tentara, kaum kaya maupun masyarakat biasa.
Sehingga penyimpangan terhadap ajaran Islam, merambah semua kalangan umat baik pemerintah, ulama, tentara, kaum kaya maupun masyarakat biasa.
Oleh karena
itu, wajar jika umat Islam yang sadar terhadap realita jahiliyah yang
menyeliputi umat ini, menginginkan sebuah perubahan yang positif.
Pertanyaannya, dari mana perubahan itu dimulai? Mari kita kaji bersama.
Sebenarnya, di
balik multi krisis dan berbagai kelemahan yang dialami oleh umat, ada sebuah
pertanyaan yang harus kita jawab. Faktor apa yang membuat umat ini bisa
terpuruk? Siapa pun bisa mendiagnosa: bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan
umat ini. Ada arus penyimpangan bersama yang dilakukan oleh berbagai lapisan
umat. Khususnya, setelah mereka meninggalkan dua pegangan yang ditinggalkan
Nabi yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Pengkajian
terhadap kondisi masyarakat menyimpulkan bahwa umat ini sedang lemah. Dan umat
yang lemah dari dalam, mustahil berhasil menghadapi bahaya yang menyerang dari
luar. Dengan demikian, upaya yang mungkin dilakukan dalam keadaan lemah adalah
mengatasi kelemahan itu sendiri. Ketika umat telah sembuh dari
penyakit-penyakit yang dideritanya, maka upaya yang mustahil tadi berubah
menjadi normal dan mungkin diselesaikan.
Perubahan positif dan negatif
Al-Qur’an
memberitahukan kepada kita tentang dua perubahan, yaitu perubahan yang positif
dan negatif. Untuk menunjukkan perubahan yang positif, Al-Qur’an menegaskan,
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri….” (Ar-Ra’d: 11).
Suatu
masyarakat yang memiliki sifat-sifat tercela takkan berubah keadaanya jika
mereka tidak mau mengubah sifat jelek yang melekat pada dirinya. Pun demikian,
pribadi yang malas belajar tidak bisa dengan sendirinya menjadi pribadi yang
pintar dan berwawasan luas. Al-Qur’an menegaskan bahwa perubahan harus dimulai
dari diri sendiri. Pemikiran dan kebiasaan negatif yang ada pada diri kita
harus kita rubah dengan pemikiran dan kebiasaan yang benar. Masyarakat mana pun
yang berusaha mengubah kemaksiatan yang ada menjadi ketaatan, maka Allah akan
mengubah kejelekan mereka menjadi kebaikan dan kebahagiaan.
Berkaitan
dengan perubahan yang negatif, Al-Qur’an menegaskan, “(Siksaan) yang demikian
itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu
nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah
apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri….” (Al-Anfal: 53).
Syaikh As-Sa’di
dalam Taisiri Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Manan menjelaskan bahwa Allah
menghilangkan nikmat suatu kaum karena dosa-dosa mereka. Allah tidak akan
mengubah nikmat suatu kaum, baik nikmat agama maupun dunia, jika mereka semakin
bersyukur. Namun jika nikmat tersebut digunakan untuk kemaksiatan, maka Allah
akan mengubah keadaan mereka menjadi umat yang celaka.
Semua nikmat
Allah yang diberikan pada suatu umat tak akan hilang, jika umat tersebut bisa
mempertahankan kualitas dirinya.
Awal sebuah perubahan
Penjelasan
Al-Qur’an di atas menggambarkan bahwa perubahan positif atau negatif, berawal
dari diri manusia. Manusia akan baik jika kehidupannya diisi dengan amal saleh.
Sebaliknya, nasib manusia akan terpuruk jika aktivitas hidupnya dipenuhi dengan
kemaksiatan kepada Allah. Fenomena perubahan ini juga sesuai dengan sabda Nabi,
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika ia baik maka
baiklah seluruh anggota tubuh. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh
anggota tubuh. Ketahuilah ia adalah hati.” (HR Muslim).
Kata hati
(Al-Qalb) digunakan dalam hadis ini karena memiliki dua kekuatan, yaitu
kekuatan pikir dan kekuatan kemauan. Dua kekuatan tersebut bergabung sehingga
melahirkan dua mata rantai perilaku, yaitu pikiran dan kemauan sebelum
melahirkan mata rantai ketiga yang berupa pencapaian praktis melalui
organ-organ tubuh yang berada di bagian luar.
Dari
dalil-dalil tersebut, dapat kita simpulkan bahwa untuk melakukan perubahan yang
positif dalam suatu masyarakat, kita harus melakukan hal-hal sebagai berikut.
1. Perubahan
harus dimulai dari seluruh muatan yang ada pada diri manusia lalu disusul
dengan perubahan pada bidang sosial, ekonomi, politik, militer, manajemen
pemerintahan, hukum, dan seluruh bidang kehidupan yang bersifat eksternal.
Muatan-muatan diri manusia memiliki pengertian yang sangat luas. Ia meliputi
pemikiran, nilai, budaya, kebiasan, dan tradisi.
2. Perubahan
menuju keadaan lebih baik atau lebih buruk akan terjadi jika dilakukan oleh
masyarakat secara kolektif—bukan oleh individu-individu—ketika mereka mau
mengubah apa yang ada pada diri mereka. Pengaruh yang timbul dari perubahan
kolektif/jama’i itu mewarnai corak kehidupan masyarakat tersebut dalam berbagai
bidang kehidupan.
3. Perubahan
akan berhasil jika masyarakat memulai perubahan terhadap apa yang ada pada diri
mereka. Ketika mereka mampu melakukan perubahan pada pendidikan dan pemikiran
dengan baik, maka akan disusul dengan perubahan yang efektif dalam
bidang-bidang yang lain.
Semoga
pemaparan ini dapat mengarahkan kita dalam memulai sebuah perubahan yang
positif terhadap keadaan masyarakat ini. Maka, sudah semestinya kita jujur
menilai keadaan kita: mana pemikiran, nilai, dan tradisi yang harus kita
pertahankan dan mana pemikiran, nilai, dan tradisi yang harus kita rubah.
Wallahu ‘alam. (diposting di pada 23 desember 2009 di http://ustadzmuis.blogspot.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar